Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menilai Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru disahkan layak digugat secara formil ke Mahkamah Konstitusi. Menurut PSHK, ada tiga aturan yang dilanggar pemerintah dan DPR dalam proses pengubahan UU tersebut.

“Uji formil itu terkait prosedur pembentukan. Nah, sekarang UU KPK itu menyalahi prosedur pembentukan,” kata peneliti PSHK Agil Oktaryal saat dihubungi, Sabtu, 21 September 2019.

Agil menyebutkan pembentukan UU KPK menyalahi tiga pasal dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pertama, menurut Agil, revisi UU KPK melanggar Pasal 45 UU tersebut karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2019.

Kedua, menurut dia, pembentukan revisi UU KPK juga tidak melibatkan publik. Padahal menurut Pasal 96, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam pembentukan Peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Agil menilai DPR dan pemerintah juga melakukan pembahasan revisi tersebut secara diam-diam dan tidak transparan. “Pimpinan KPK bahkan tidak mendapatkan drafnya,” kata dia.

Menurut Agil, pembentukan UU secara tidak transparan telah melanggar Pasal 88. Pasal 88 mensyaratkan DPR harus melakukan penyebarluasan rencana revisi sejak sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan UU, pembahasan Rancangan UU, hingga Pengundangan UU. “Itu semua memenuhi syarat formil pengajuan ke MK,” kata Agil.

Banyak Kewenangan KPK Dipangkas UU Baru

Tim transisi bentukan Komisi Pemberantasan Korupsi masih terus mengkaji dampak perubahan Undang-Undang KPK terhadap kerja lembaga antikorupsi ini. Hasil sementara tim transisi menemukan cukup banyak kewenangan KPK yang dipangkas.

“Apalagi soal pimpinan KPK yang bukan lagi penyidik dan penuntut umum, itu jadi konsekuensi serius berkenaan dengan tugas di KPK,” kata juru bicara KPK Febri Diansyah di kantornya, Jakarta, Jumat, 20 September 2019.

Febri mengatakan tim transisi baru bekerja selama tiga hari untuk mengidentifikasi dampak revisi UU KPK terhadap kerja lembaga. Fokus tim, kata dia, salah satunya untuk memastikan risiko perubahan pasal terhadap tugas KPK di bidang penindakan.

KPK membentuk tim transisi setelah DPR mengesahkan revisi UU KPK pada rapat paripurna 17 September 2019. Tim terdiri dari pegawai di bidang Sumber Daya Manusia, hukum, keuangan dan Komunikasi.

Kendati demikian, Febri mengatakan penanganan kasus di KPK masih terus berjalan. KPK, kata dia, masih menggunakan UU sebelum revisi untuk menjalankan  tugasnya. “UU itu belum ditandatangani Presiden, sehingga UU yang berlaku masih sama.” (Tempo)