Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.
Penyerobotan tanah merupakan perbuatan mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan aturan, seperti menempati tanah atau rumah orang lain yang bukan merupakan haknya. Tindakan penyerobotan lahan merupakan perbuatan melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Berdasarkan pengertian ini, maka penyerobotan tanah merupakan bentuk perbuatan mengambil hak orang lain secara melawan hukum. Bentuknya dapat dengan menempati tanah, melakukan pemagaran, mengusir pemilik tanah sebenarnya dan lain-lain. Penyerobotan tanah akan merugikan pihak lain, sehingga pelakunya dapat ditindak dengan instrumen hukum pidana.
Secara umum istilah penyerobotan tanah dapat diartikan sebagai perbuatan menguasai, menduduki atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak atau melanggar peraturan hukum yang berlaku. Penyerobotan lahan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Penyerobotan tanah dalam realitanya di Indonesia merupakan hal yang banyak terjadi apalagi di wilayah kota metropolitan sekarang, di mana tanah kosong semakin sulit ditemukan tetapi para pendatang makin banyak berdatangan untuk mempertaruhkan nasib mereka meskipun tidak memiliki tempat tinggal yang jelas maupun sanak keluarga dan hal tersebutlah yang mendorong begitu banyaknya terjadi penyerobotan lahan negara maupun lahan yang dikuasai perorangan atau perusahaan.
Hal tersebut sering didapati di mana bangunan-bangunan liar yang dapat disaksikan yang biasanya berada di lahan-lahan kosong untuk menjadi tempat berteduh bagi yang terus berjuang untuk tetap mempertahankan hidupnya dengan terpaksanya harus menyerobot lahan yang bukan haknya dan di dalam KUHP telah jelas diatur pada Pasal 385 dengan maksimal hukuman 4 tahun penjara.
Sanksi penyerobotan dan pengerusakan juga diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya menentukan: Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah. Jika ketentuan ini dilanggar, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000, sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 6.
Ketentuan Pasal 6 juga berlaku untuk perbuatan:
1. Mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah didalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
2. Menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud pada huruf a dan b;
3. Memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau huruf b.
Kasus penyerobotan lahan juga dapat terjadi tindak pidana lainnya seperti :
1. Pasal 170, Pasal 406 dan Pasal 412 : Perusakan barang, pagar, bedeng, plang, bangunan dan lain- lain.
2. Pasal 263, Pasal 264, Pasal 266 KUHP : Pemalsuan dokumen/akta/surat yang berkaitan dengan tanah.
Hukum mengatur tindakan atau perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan berikut dengan sanksinya apabila dilanggar. Hukum bersifat memaksa, dengan adanya sanksi tersebut, sehingga dalam bertindak, masyarakat akan lebih berhati-hati, apakah tindakannya tersebut merugikan pihak lain atau tidak.
Hukum pidana mengenal beberapa rumusan pengertian tindak pidana atau istilah tindak pidana sebagai pengganti istilah Strafbaar Feit. Sedangkan dalam perundang-undangan negara Indonesia istilah tersebut disebutkan sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik.
KUHP tidak memberikan definisi terhadap istilah tindak pidana atau strafbaar feit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tidak pidana adalah perbuatan yang pelakunya seharusnya di pidana. Van Hammel menyebutkan bahwa secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal yaitu:
a. Perbuatan yang dilarang;
b. Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu; dan
c. Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar larangan itu.
Istilah “menyerobot” banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menyerobot berasal dari akar kata “serobot”. Penyerobot adalah orang yang menyerobot, tukang serobot, sedangkan penyerobotan adalah proses, cara, perbuatan menyerobot. Menyerobot dalam perspektif hukum, didefinisikan atau diartikan sebagai berikut :
a. Mengambil hak atau harta dengan sewenang-wenang atau dengan tidak mengindahkan hukum dan aturan (seperti mencuri, merampas, menempati tanah atau rumah orang lain yang bukan haknya, menculik);
b. Menyerang (melanggar, menubruk) secara nekat atau dengan diam-diam;
c. Melakukan perbuatan (seperti masuk ke rumah orang, menyela perkataan orang, dan sebagainya);
d. Menggunakan jalan semau- maunya tanpa mengindahkan aturan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana (Pasal 2 dan Pasal 6).
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya yang berbunyi : “Dilarang memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah”. Unsur Pasal 2 ini adalah :
a. Memakai tanah tanpa ijin;
b. Tanpa ijin yang berhak;”
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 51 Tahun 1960 berbunyi :
a. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000;
1) Barang siapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan, bahwa jika mengenai tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut Pasal 5 ayat 1;
2) Barang siapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
3) Barang siapa menyuruh, mengajak, membujuk atau
4) menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 atau sub b dari ayat 1 pasal ini;
5) Barang siapa memberi bantuan dengan cara apa pun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini;
b. Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan oleh Menteri Agraria dan Penguasa Daerah sebagai yang dimaksud dalam pasal 3 dan 5 dapat memuat ancaman pidana dengan kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000 terhadap siapa yang melanggar atau tidak memenuhnya.
c. Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.
Unsur Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya adalah:
a. Barang siapa;
b. Memakai tanah tanpa ijin;
c. Mengenai tanah perkebunan;
d. Haknya atas suatu bidang tanah;
e. Memberi bantuan dengan cara apa pun.
Kejahatan penyerobotan tanah juga diatur dalam beberapa pasal KUHP, diantaranya :
Pasal 167 KUHP:
(1) Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum, atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan secara diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah;
(2) Barang siapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan anak kunci palsu perintah palsu atau pakaian jabatan palsu atau barang siapa tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kehkilafan masuk dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk;
(3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan orang pidana menjadi paling lama satu tahun empat bulan;
(4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.
Unsur Pasal 167 KUHP :
a. Barang siapa;
b. Unsur mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberikan kesempatan, sarana atau keterangan , sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan;
c. Unsur memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain atau berada disitu dengan melawan hukum;
d. Unsur dengan melawan hukum;
e. Unsur atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera;

Pasal 242 KUHP,
yang berupa kejahatan terhadap pemberian sumpah palsu dan keterangan palsu antara lain:

(1) Barang siapa dalam hal dimana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah, atau mengadalian akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan dasar, atau tulisan, olehnya sendiri maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(3) Disamakan dengan sumpah palsu adalah janji atau pengikatan, .yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah;
Unsur Pasal 242 KUHP :
a. Keterangan itu harus atas sumpah;
b. Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu;
c. Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan;
Pasal 385 KUHP, yang berupa kejahatan penggelapan terhadap hak atas barang tidak bergerak, seperti tanah, rumah dan sawah. Kejahatan ini biasa disebut dengan kejahatan stellionaat, yang ancaman dengan pidana penjara paling lama empat tahun:
(1) Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan crediet verband sesuatu hak atas tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain.
(2) Barang siapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan, atau membebani dengan crediet verband, sesuatu hak tanah lndonesia yang telah dibeban crediet verband, atau sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain.
(3) Barang siapa dengan maksud yang sama mengadakan credieet verband mengenai sesuatu hak tanah lndonesia, dengan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan;
(4) Barang siapa dengan maksud yang sama mengadaikan atau menyewakan tanah dengan hak Indonesia, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu;
(5) Barang siapa dengan maksud yang sama menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukan kepada pihak yang lain, bahwa tanah itu telah digadaikan;
(6) Barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak Indonesia untuk suatu masa, padahal diketahui, bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga.
Berdasarkan aturan-aturan di atas, Pasal 385 KUHP adalah merupakan satu-satunya pasal yang sering digunakan oleh pihak penyidik (Polisi) dan penuntut umum (Jaksa) untuk mendakwa “pelaku penyerobotan tanah” dan dikatagorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Khususnya Pasal 385 ayat (1) KUHP yang berbunyi : “barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan crediet verband sesuatu hak atas tanah Indonesia, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Pidana Penyerobotan Tanah.
Konflik yang terjadi terhadap pertanahan jelas didorong karena adanya kepentingan (interest). Kepentingan-kepentingan ini dalam terjadinya konflik sehingga salah satu pihak atau keduanya atau lebih melakukan tindakan perbuatan pidana di bidang pertanahan.
Terpenuhinya unsur-unsur secara pidana telah dilakukan, seperti menguasai, menyerobot dan atau menduduki. Namun persoalannya, baik KUHP maupun peraturan perundang-undangan Agraria belum seluruhnya mampu mengakomodir untuk menjerat pelaku kajahatan pertanahan ini. Apalagi berkaitan dengan adanya pengakuan dan perlindungan atas keberadaan tanah adat. Termasuk masalah pertanahan yang terjadi secara perorangan (individual).
Pada umumnya tidak pidana penyerobotan tanah terjadi karena disebabkan hal-hal berikut :
1. Ketidak pedulian pemilik tanah terhadap aset yang dimilikinya. Pada beberapa kasus terjadinya dikarenakan pemilik tanah memberikan kepercayaan kepada orang lain untuk mengelolah tanahnya yang dikemudian membuatkan akta tanah baru tanpa sepengetahuan pemilik tanah dengan maksud yang buruk. Secara tidak langsung pemilik tanah sebagai korban memiliki peranan yang mempengaruhi terjadinya tindak penyerobotan tanah. Selain karena ketidakpedulian pemilik tanah terhadap aset yang dimilikinya, maka tindak pidana penyerobotan tanah juga terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat dan ketidakpeduliannya terhadap asset tanah miliknya. Wujud peranan korban itu dapat berupa tindakan yang disengaja maupun tidak disengaja mengundang para pelaku untuk melakukan suatu kejahatan.
2. Faktor terjadinya penyerobotan tanah ini dikarenakan ketidaktahuan dari korban mengenai kepemilikan tanahnya telah dijual atau diberikan kepada orang lain oleh orang tua korban. Korban pemilik tanah mengetahui tanah miliknya dikuasai oleh orang lain setelah diberitahu oleh keluarganya dan memperhatikan surat kepemilikan yang dimilikinya bahwa tanah tersebut tidak pernah dijual ataupun dialihkan kepada orang lain.
3. Tingginya harga tanah yang mengakibatkan orang-orang mulai mencari tanah mereka dan juga mengakibatkan susahnya untuk memperoleh lahan untuk digarap.
4. Penjualan tanah orang tua dulu dengan menggunakan sistem kepercayaan sehingga tidak ada bukti terkait peralihan hak tanah tersebut.
Selain itu, salah satu faktor penyebab terjadinya penyerobotan tanah ini yakni kelalaian atau pembiaran yang dilakukan oleh pemilik tanah dalam hal ini korban. Korban melakukan pembiaran terhadap tanah miliknya saat diserobot atau digunakan oleh orang lain, setelah bertahun-tahun atau pada saat korban akan menggunakan tanahnya barulah korban melakukan pengaduan.
Jadi, korban sering kali memiliki peranan yang sangat penting bagi terjadinya suatu kejahatan baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam hal ini peranan korban ini mempunyai akibat dan pengaruh bagi diri korban serta pihak-pihak lain dan lingkungannya.
Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Penyerobotan Tanah.
Pertanggungjawaban terdakwa atas perbuatannya, maka terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana dan kemudian terpenuhinya semua unsur-unsur kesalahan, maka terdakwa harus:
1. Melakukan perbuatan pidana;
2. Mampu bertanggung jawab;
3. Dengan kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Sanksi pidana tindak pidana penyerobotan tanah adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP yang merupakan satu-satunya pasal yang sering digunakan oleh pihak penyidik Polisi dan Jaksa penuntut umum untuk mendakwa pelaku penyerobotan tanah dan dikategorikan sebagai tindak pidana kejahatan. Khususnya Pasal 385 ayat (1) KUHP berbunyi : barang siapa dengan maksud menguntungkan diri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan, atau membebani dengan credietverband sesuatu hak atas tanah, sesuatu gedung, bangunan, penanaman, atau pembenihan, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak atasnya adalah orang lain.

*) Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M. (kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Langlangbuana).

Artikel Penyerobotan Tanah Dalam Perspektif Hukum Pidana pertama kali tampil pada Majalah Hukum.