“Saya ingin membeli sebuah rumah beserta dengan tanahnya. Rencananya pembayaran akan saya lakukan dengan angsuran. Saya sudah menghubungi penjual dan pihak penjual meminta dilakukan pembuatan PPJB terlebih dahulu. Sebenarnya, PPJB itu apa, ya? Dan seperti apa pengaturannya?”

Contoh ilustrasi kasus di atas mungkin sering kita temukan di kehidupan sehari-hari. Ketika kita atau sanak famili hendak bertransaksi jual beli, lalu hendak membuat PPJB terlebih dahulu, namun belum terlalu memahami sebenarnya seperti apa PPJB itu sendiri.

Unsur-unsur essensialia perjanjian jual beli adalah “barang” dan “harga”. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian Kitab Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian jual beli sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah sebuah perjanjian jual beli.

PPJB atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli, dikutip dari R Subekti, adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga, masih proses pengurusan perizinanm dan lain sebagainya.

PPJB memang sebuah perjanjian yang kedudukannya sebagai preambule atau pembukaan dari transaksi jual beli. Sifatnya adalah sementara, karena PPJB akan tidak berlaku lagi jika Akta Jual Beli (AJB) sudah dibuat.

Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini hanya dibuat dalam dua keadaan, yaitu PPJB Belum Lunas dan PPJB Lunas. PPJB Belum Lunas dibuat apabila payment method yang para pihak lakukan adalah angsuran atau cicil, oleh karena hal itu perlu diadakan pengikatan terlebih dahulu sehingga dibuatlah PPJB.

Yang kedua, PPJB Lunas adalah bilamana payment method yang dilakukan adalah cash alias tunai, akan tetapi belum bisa dilaksanakan pembuatan Akta Jual Beli (AJB) nya dikarenakan masih ada proses yang belum selesai, misalnya: masih sedang dalam proses pemecahan sertifikat atau masih sedang dalam proses penggabungan.

Penting untuk diketahui bahwa proses peralihan hak baru terjadi ketika Akta Jual Beli (AJB) dibuat, bukan ketika PPJB, sekalipun pembayaran telah dilakukan secara lunas. Akta PPJB belum menampilkan adanya peralihan hak. Sehingga objek PPJB belum dapat dibebani hak tanggungan (namun dalam praktiknya, biasanya objek agunan kredit masih dalam bentuk akta PPJB, dalam konteks Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dari developer)

Akan tetapi, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 tepatnya pada Rumusan Hukum Kamar Perdata, Perdata Umum, Poin ke-7 disebutkan peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.

Dalam membuat sebuah akta PPJB, terdapat setidaknya beberapa unsur krusial yang harus diperhatikan keberadaannya, antara lain:

  1. Di dalam PPJB tersebut harus memuat letak atau identitas detail yang menjadi objek jual beli.
  2. Ada unsur yang menyatakan bahwa pihak penjual memang berniat untuk menjual objek tersebut dan beritikad baik.
  3. Jika PPJB yang dibuat adalah PPJB Belum Lunas, maka pembayaran dilakukan secara bertahap. Oleh karena itu penting menuliskan dan mengatur termin pembayaran tiap tahap secara rinci disertai dengan ketentuan seperti apa yang akan dikenakan bila pembeli terlambat membayar sesuai dengan termin yang telah ditetapkan.
  4. Mencantumkan mengenai tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi oleh penjual maupun pembeli.

Serta tak kalah penting, harus juga mencantumkan alasan mengapa Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dibuat, apakah karena metode pembayaran dilakukan dengan cicil, atau karena sertifikat masih dalam proses pengurusan sehingga belum bisa dibuat Akta Jual Beli.