Waris yang paling sering menjadi potensi bermasalah adalah rumah atau tanah, apalagi jika ahli waris ada beberapa orang dan berbeda pendapat tentang objek waris. Di tengah masyarakat sering terjadi seorang ahli waris tidak setuju menjual rumah waris namun saudaranya yang lain ingin menjual rumah tersebut.

Pengaturan materil mengenai kewarisan dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yaitu untuk yang beragama selain Islam diatur di dalam Buku II Pasal 830 s.d. Pasal 1130 KUHPerdata, dan khusus untuk yang beragama Islam diatur di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain itu juga, kewarisan diatur di dalam hukum adat yang di dalam praktiknya masih diterapkan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 174 ayat (2) KHI, yang termasuk sebagai ahli waris adalah anak, ayah, ibu. Pasal 174 ayat (2) KHI selengkapnya berbunyi : “Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda”. Sedangkan, berdasarkan hukum waris KUHPer, jika tidak ada surat wasiat (testament), maka yang berhak menjadi ahli waris adalah anak-anak dari pewaris.

Perlu diketahui, bahwa dalam kewarisan baik hukum Islam maupun kewarisan KUHPer, seseorang dinyatakan tidak berhak menjadi ahli waris atau terhalang mendapatkan harta warisan dengan ketentuan :

  1. Berdasarkan ketentuan Pasal 173 KHI dan Hadits yaitu yang dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris, dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat, dan yang berlainan agama dengan Pewaris;
  2. Berdasarkan Pasal 838 BW, yaitu:
  • Yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu;
  • Yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
  • Yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya; dan
  • Yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang meninggal itu.

Harta waris berupa rumah tidak dapat dijual tanpa persetujuan dari semua ahli waris, yang mana di dalam praktik, jika hal tersebut tetap dilakukan, maka ahli waris yang tidak dilibatkan dapat mengajukan upaya hukum baik perdata maupun pidana. Namun, terhadap permasalahan warisan, hal yang paling baik dilakukan adalah penyelesaian secara kekeluargaan. Musyawarah keluarga dan/atau komunikasi yang intensif perlu dilakukan untuk memahami sikap dan keinginan dari masing-masing pihak sehingga mendapatkan solusi terbaik dan melegakan buat semua ahli waris. Misalnya, ahli waris yang tidak setuju, diminta menjadi pembeli dari rumah warisan tersebut, dan sebagainya. Tetapi apabila penyelesaian mengenai harta waris tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, dapat diajukan Permohonan untuk meminta penetapan ahli pembagian harta waris ke pengadilan.

Seperti dikethui, hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia yang sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Itu sebabnya, pewaris dan atau para ahli waris dapat melakukan pilihan hukum (choice of law) atau menundukkan diri terhadap hukum yang berlaku dalam hal kewarisan di Indonesia yakni hukum waris Islam, hukum waris KUHPer, atau hukum waris Adat. Hal ini akan berkonsekwensi ke pengadilan mana mengajukan Permohonan penetapan ahli pembagian harta waris, apakah ke Pengadilan Negeri atau ke Pengadilan Agama setempat. Namun, berdasarkan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang UU Peradilan Agama yang berbunyi: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang waris.

Namun demikian, hukum hanya mampu menjawab sampai persoalan pembagian waris, namun hanya manusianya yang mampu menguatkan simpul-simpul cinta dalam bersaudara, saat tak lagi ada orang tua di dunia ini. (Tim BSDR)