JAKARTA – Sebanyak 264 aparatur sipil negara (ASN) terbukti melanggar netralitas selama Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu.

Agus Pramusinto selaku Ketua Komisi ASN (KASN) menilai hal itu dapat mengancam integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

“Dalam konteks demokrasi, netralitas ASN menjadi prasyarat utama untuk pemilu yang jujur, adil, dan demokratis. Namun, realitas terbaru menunjukkan bahwa pelanggaran netralitas ASN masih saja terjadi, yang dapat mengancam integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi,” ujar Agus dikutip dari laman KASN, Kamis (18/4/2024).

Agus menyampaikan, potensi pelanggaran netralitas sejatinya tidak hanya terjadi pada aspek politik. Namun, hal itu juga dalam bentuk pelanggaran imparsialitas pada aspek pelayanan publik, manajemen ASN dan pengambilan keputusan, khususnya bagi pejabat-pejabat publik.

“Jelang pilkada, kondisi ini tentunya membutuhkan strategi yang tepat untuk mewujudkan pesta demokrasi yang kondusif,” jelas dia.

Menurut Agus, pengawasan bisa lebih optimal apabila didukung dengan regulasi dan kewenangan yang kuat, serta melibatkan pengawasan partisipatif oleh civil society. Sebab, pengawasan netralitas ASN oleh pemerintah dia nilai masih belum memiliki ketegasan sanksi yang membikin jera pelakunya.

Sementara itu, pengamat politik, Khoirul Umam, menyarankan agar instansi pengawas yang tergabung dalam Satuan Tugas Netralitas harus berani mengekspos setiap kasus dan hasil pembinaan serta pengawasan netralitas pegawai ASN secara terbuka.

“Jika ASN sudah berjuang menjaga netralitas mereka, namun aktor politiknya mengacak-ngacak, ya sama saja. Jadi perlu melibatkan elemen kekuatan civil society, agar praktik mengintervensi birokrasi dan menekan ASN bisa bersama masyarakat kita bawa ke ruang terang benderang,” ungkap Khoirul.

Lebih lanjut, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan supaya civil society tidak hanya fokus mengawasi hasil perolehan suara, tapi juga prosesnya. Sebab malapraktik pemilu prinsipnya dapat terjadi pada tiga variabel, yakni manipulasi aturan pemilu, manipulasi pemilih, dan manipulasi suara.

Masyarakat, kata Titi, harus tahu ada pengaturan berbeda antara Pemilu dan Pilkada. Undang-Undang Pilkada jauh lebih progresif dibandingkan Undang-Undang Pemilu dikarenakan perbedaan aturan tentang politisasi ASN sebagai tindak pidana.

Menurut dia, pada Undang-Undang Pemilu, politisasi ASN hanya dikategorikan sebatas pelanggaran administratif dan etik. Hasilnya dapat terlihat pada tingginya angka putusan pengadilan tindak pidana atas pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2018 dan 2020.

“Tahun 2018 33 putusan dan 2020 73 putusan. Namun, nihil pada Pemilu 2019,” sebut Titi.

Titi juga mempertanyakan keputusan pemerintah melikuidasi KASN. Hal itu dikhawatirkan akan mengurangi kinerja pengawasan netralitas ASN ke depan yang semakin kompleks. “Pemerintah semestinya memperkuat lembaga pengawal netralitas dan meritokrasi ASN yang independen.”

Kemudian, Co-founder Total Politik Arie Putra mengakui saat ini aktivisme masyarakat di ruang digital juga masih berpotensi dibatasi oleh algoritma platform yang digunakan. Informasi terkait isu pelanggaran netralitas ASN di daerah yang dianggap kurang menarik bisa saja hilang dari pembicaraan publik.

“Ada baiknya cara-cara konvensional dilirik kembali sebagai sarana edukasi politik dan partisipasi pengawasan netralitas ASN oleh masyarakat. Hal ini untuk memastikan bahwa setiap daerah mendapatkan eksposur yang berimbang,” ujarnya.

Artikel KASN Sebut 264 ASN Terbukti Langgar Netralitas Pemilu 2024 pertama kali tampil pada Majalah Hukum.