Pertanyaan:
Akta perjanjian perikatan jual beli tanah antara si A (penjual) dan si B (pembeli) dibuat di hadapan notaris tahun 2001. Dapatkah PPJB dijadikan alat bukti gugatan di Pengadilan? Dapatkah menjadi alat bukti setelah 10 tahun kemudian untuk menggugat pihak pihak di luar yang namanya tidak tercantum dalam PPJB, serta digabung dengan pihak A (pihak yang terkait dalam PPJB) dalam satu gugatan perkara perdata di PN?

Jawaban:
Dalam membuktikan suatu perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan (atau sebatas) pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, umumnya suatu bukti tertulis (misalnya surat) atau dokumen memang sengaja dibuat oleh para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti (apabila sampai ada sengketa).

Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (K U H Perdata) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, diatur jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, yaitu:

  1. Bukti Surat,
  2. Bukti Saksi,
  3. Persangkaan,
  4. Pengakuan,

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat di hadapan notaris merupakan akta otentik (dalam hal ini lihat Pasal 1868 K U H Perdata). Dalam kaitannya dengan akta otentik tersebut, Pasal 1870 K U H Perdata telah memberikan penegasan bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

Pasal 1870 KUH Perdata (Terjemahan R Subekti): “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”

Sebagai informasi tambahan, PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli atas sebidang tanah dan/atau bangunan, sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan, dari penjual kepada pembeli.

Terkait pertanyaan Anda yang kedua, hal mana ada pihak yang menggunakan PPJB tersebut sebagai bukti dalam gugatannya setelah 10 tahun PPJB tersebut dibuat, menurut kami, hal tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak tersebut apabila memang ada hal yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, misalnya PPJB, atau dengan pihak-pihak lain yang mendapat hak dari PPJB tersebut.

Dengan demikian, apabila ada pihak-pihak lain di luar pihak-pihak dalam PPJB, yang digugat dalam perkara tersebut, pihak yang menggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara penggugat dengan pihak-pihak di luar PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 4 K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut: “Untuk dapat menuntut seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak bahwa harus ada perselisihan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara.”

Selain itu, mengingat rentang waktu sejak dibuatnya PPJB tersebut sampai dengan perkara tersebut bergulir di pengadilan belum melebihi masa Daluwarsa sebagaimana ditentukan oleh hukum untuk menuntut, yaitu selama 30 tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1967 K U H Perdata, yang berbunyi: “Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.”

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Disajikan oleh Kantor Hukum Bernard Simamora & Partners.