Terpidana Kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak mempermasalahkan siapa pun hakim yang memimpin sidang peninjauan kembali (PK) kasus penodaan agama yang diajukannya. Ahok memilih berdoa menghadapi sidang itu.

Ahok dihukum 2 tahun penjara karena dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama atas pernyataan soal Surat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Ahok mengajukan PK setelah menjalani tahanan sejak 9 Mei 2017 atau sekitar 9 bulan. Ahok saat itu batal mengajukan banding menjaga agar tidak terjadi benturan antara pihak yang pro dan kontra. Ahok saat itu ingin menjaga situasi tetap kondusif dan tidak terjadi perpecahan.

Lalu, 2 Februari 2018 Ahok mengajukan PK. Sidang perdana digelar pada Senin (26/2/2018) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dasar Ahok mengajukan PK terkait dengan putusan terhadap Buni Yani. Buni divonis hukuman pidana penjara satu tahun enam bulan karena dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hakim Agung Artidjo Alkostar ditunjuk sebagai pimpinan sidang peninjauan kembali (PK) vonis dua tahun penjara yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kepada Mahkamah Agung (MA). Juru bicara MA Suhadi mengatakan, penunjukan Artidjo merupakan keputusan pimpinan MA. Selain Artidjo, hakim lainnya yang akan menangani PK Ahok adalah Salman Luthan dan Sumardijatmo.

Artidjo merupakan hakim agung yang kerap menangani kasus-kasus berat, khususnya kasus korupsi. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, dan Anas Urbaningrum. Oleh Artidjo, mereka dijatuhi hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama. Bahkan, ada beberapa terdakwa yang mencabut permohonan kasasi ketika mengetahui Artidjo yang akan menangani perkara.

Ahok sudah mengetahui bahwa Hakim Agung Artidjo Alkostar ditunjuk sebagai pimpinan sidang peninjauan kembali (PK) vonis 2 tahun penjara yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta itu ke Mahkamah Agung (MA). Menurut kuasa hukumnya, Josefina Agatha Syukur, Ahok hanya berharap hasil yang terbaik. Josefina mengatakan, kepada para kuasa hukumnya, Ahok meminta agar tetap percaya bahwa siapa pun hakim yang menangani PK tersebut bisa mengambil keputusan secara bijak.

Ketika itu tahun 2000. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman, menelepon Artidjo Alkostar, seorang pengacara. Dia menawarkan posisi hakim agung kepada Artidjo. Artidjo lantas gamang. Di era itu, menteri kehakiman memiliki wewenang menyodorkan nama calon hakim agung untuk disetujui DPR. Artidjo mengaku sempat menolak tawaran itu.

Lalu, pria kelahiran Situbondo yang beribukan perempuan Sumenep itu berkonsultasi dengan sejumlah ulama dan kyai di Madura. Setelah mendapat pesan dari salah seorang kyai itu dia akhirnya bersedia menerima tawaran Yusril. Jadi hakim agung baru, Artidjo langsung menangani kasus-kasus yang relatif menjadi sorotan publik. Misalnya kasus korupsi yang menyeret mantan Presiden Soeharto. Artidjo mengaku tak mengerti mengapa dia yang masih bau kencur yang harus menangani kasus-kasus berat itu.

Di kasus Soeharto, Artidjo berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan dua hakim lainnya yang berkeputusan perkara harus dihentikan. Begitu juga di kasus Bank Bali, saat dua hakim lain ingin kasus Djoko Tjandra, terdakwa kasus itu bebas, Artidjo bersikukuh Djoko harus dihukum. Artidjo juga mengajukan pendapat berbeda untuk kasus HAM, yakni pelanggaran HAM di Dili dan kasus Tanjung Priok.

Artidjo dikenal sebagai salah satu hakim yang paling disegani di Indonesia. Ia terbiasa menangani kasus-kasus berat, seperti korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi top negeri ini. Ia dikenal “galak” dalam memberikan hukuman kepada terdakwa kasus korupsi yang mengajukan kasasi. Dia kerap menambah hukuman bagi mereka yang justru berharap hukumannya dikurangi, bahkan dibebaskan. Artidjo mempunyai alasan dia sering memutuskan untuk memperberat hukuman koruptor. Menurut dia, penegakan kebenaran dan keadilan sesuai fakta yang obyektif dan meluruskan penerapan pasal-pasal yang relevan sesuai kasus menjadi alasan hukuman terhadap koruptor yang mengajukan kasasi justru dinaikkan. Penambahan lama maupun jumlah hukuman kepada koruptor, kata Artidjo, dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku

Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum. Terakhir  pengacara O.C. Kaligis. Seluruh nama-nama itu, oleh Artidjo, dijatuhi hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama.

Bagaimana dengan upaya hukum PK Ahok yang terjerat kasus penodaan agama? Apakah Artidjo akan mengabulkan atau menolaknya? Meskipun Artidjo dikenal sebagai hakim agung yang “galak” dalam perkara korupsi, namun dalam setiap perkara yang diperiksa oleh hakim kebenaran harus menjadi landasan dalam membuat putusan yang seadil-adilnya. Menyitir pendapat Bernardus Maria Taverne (1874-1944): “Berikan aku hakim, jaksa, polisi, dan advokat yang baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun. Demikian juga pendapat Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM), fiat justitia ruat caelum, hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Artinya, jika ditemukan ada kebenaran, maka keadilan harus ditegakkan meskipun bencana akan datang sekalipun.

Bandung, 16 Maret 2016

Bernard Simamora